SEJARAH ASAL USUL NAMA TANGERANG
Nama Tangerang menurut
sumber berita tidak tertulis berasal dari kata “Tangeran”, kata “Tangeran”
dalam bahasa Sunda memiliki arti “tanda”. Tangeran di sini berupa tugu yang
didirikan sebagai tanda batas wilayah kekuasaan Banten dan VOC, pada waktu itu.
Tangeran tersebut
berlokasi dibagian barat Sungai Cisadane (Kampung Grendeng atau tepatnya di
ujung jalan Otto Iskandar Dinata sekarang). Tugu tersebut dibangun oleh
Pangeran Soegiri, salah satu putra Sultan Ageng Tirtayasa.
Pada tugu tersebut
tertulis prasasti dalam huruf Arab gundul dengan dialek Banten, yang isinya
sebagai berikut :
Bismillah peget Ingkang Gusti
Diningsun juput parenah kala Sabtu
Ping Gasal Sapar Tahun Wau
Rengsena Perang nelek Nangeran
Bungas wetan Cipamugas kilen Cidurian
Sakebeh Angraksa Sitingsung Parahyang-Titi
Artinya terjemahan dalam bahasa Indonesia :
Dengan nama Allah tetap Maha Kuasa
Dari kami mengambil kesempatan pada hari Sabtu
Tanggal 5 Sapar Tahun Wau
Sesudah perang kita memancangkan Tugu
Untuk mempertahankan batas Timur Cipamugas
(Cisadane) dan Barat yaitu Cidurian
Semua menjaga tanah kaum Parahyang
Kemudian kata “Tangeran” berubah menjadi “Tangerang” disebabkan pengaruh ucapan dan dialek dari tentara kompeni yang berasal dari Makasar. Orang-orang Makasar tidak mengenal huruf mati, akhirnya kata “Tangeran” berubah menjadi “Tangerang”.
Menurut kajian buku
“Sejarah Kabupaten Tangerang” yang diterbitkan Pemerintah Kabupaten Daerah
Tingkat II Tangerang bekerjasama dengan LPPM Unis Tangerang, daerah Tangerang
sejak dulu telah mengenal pemerintahan. Cerita pemerintahan ini telah berkembang
di masyarakat.
Cerita itu berawal
dari tiga maulana yang diangkat oleh penguasa Banten pada waktu itu. Tiga
Maulana kemudian mendirikan kota Tangerang itu adalah Yudhanegara, Wangsakara
dan Santika. Pangkat ketiga Maulana tersebut adalah Aria.
Pemerintahan
kemaulanaan yang menjadi pusat perlawanan terhadap penjajah di Tigaraksa
(artinya pemimpin), mendirikan benteng, disepanjang tepi Sungai Cisadane. Kata
“Benteng” ini kemudian menjadi sebutan kota Tangerang. Dalam pertempuran
melawan VOC, maulana ini berturut-turut gugur satu persatu. Dengan gugurnya
para maulana, maka berakhirlah pemerintahan kemaulanaan di Tangerang.
Masyarakat mengangap pemerintahan kemaulanaan ini sebagai cikal bakal
pemerintahan di Tangerang.
Untuk mengungkapkan
asal-usul tangerang sebagai kota “Benteng”, diperlukan catatan yang menyangkut
perjuangan. Menurut sari tulisan F. de Haan yang diambil dari arsip
VOC,resolusi tanggal 1 Juni 1660 dilaporkan bahwa Sultan Banten telah membuat
negeri besar yang terletak di sebelah barat sungai Untung Jawa, dan untuk
mengisi negeri baru tersebut Sultan Banten telah memindahkan 5 sampai 6.000
penduduk.
Kemudian dalam Dag
Register tertanggal 20 Desember 1668 diberitakan bahwa Sultan Banten telah
mengangkat “Radin Sina Patij dan Keaij Daman” sebagai penguasa di daerah baru
tersebut. Karena dicurigai akan merebut kerajaan, Raden Sena Pati dan Kyai
Demang dipecat Sultan. Sebagai gantinya diangkat Pangeran Dipati lainnya. Atas
pemecatan tersebut Ki Demang sakit hati. Kemudian tindakan selanjutnya ia
mengadu domba antara Banten dan VOC. Tetapi ia terbunuh di Kademangan.
Dalam arsip VOC
selanjutnya, yaitu dalam Dag Register tertanggal 4 Maret 1980 menjelaskan bahwa
penguasa Tangerang pada waktu itu adalah ”Keaij Dipattij Soera Dielaga”. Kyai
Soeradilaga dan putranya Subraja minta perlindungan kompeni dengan diikuti 143
pengiring dan tentaranya (keterangan ini terdapat dalam Dag Register tanggal 2
Juli 1982). Ia dan pengiringnya ketika itu diberi tempat di sebelah timur
sungai, berbatasan dengan pagar kompeni.
Ketika bertempur
dengan Banten, ia beserta ahli perangnya berhasil memukul mundur pasukan
Banten. Atas jasa keunggulannya itu kemudian ia diberi gelar kehormatan Raden
Aria Suryamanggala, sedangkan Pangerang Subraja diberi gelar Kyai Dipati
Soetadilaga. Selanjutnya Raden Aria Soetadilaga diangkat menjadi Bupati
Tangerang I dengan wilayah meliputi antara sungai Angke dan Cisadane. Gelar
yang digunakannya adalah Aria Soetidilaga I. Kemudian dengan perjanjian yang
ditandatangani pada tanggal 17 April 1684, Tangerang menjadi kekuasaan kompeni,
Banten tidak mempunyai hak untuk campur tangan dalam mengatur tata pemerintahan
di Tangerang. Salah satu pasal dari perjanjian tersebut berbunyi: ”Dan harus
diketahui dengan pasti sejauh mana batas-batas daerah kekuasaan yang sejak masa
lalu telah dimaklumi maka akan tetap ditentukan yaitu daerah yang dibatasi oleh
sungai Untung Jawa atau Tangerang dari pantai Laut Jawa hingga
pegunungan-pegunungan sejauh aliran sungai tersebut dengan kelokan-kelokannya
dan kemudian menurut garis lurus dari daerah Selatan hingga utara sampai Laut
Selatan. Bahwa semua tanah disepanjang Untung Jawa atau Tangerang akan menjadi
milik atau ditempati kompeni”.
Dengan adanya
perjanjian tersebut daerah kekuasaan bupati bertambah luas sampai sebelah barat
sungai Tangerang. Untuk mengawasi Tangerang maka dipandang perlu menambah
pos-pos penjagaan di sepanjang perbatasan sungai Tangerang, karena orang-orang
Banten selalu menekan penyerangan secara tiba-tiba. Menurut peta yang dibuat tahun
1962, pos yang paling tua terletak di muara sungai Mookervaart, tepatnya
disebelah utara Kampung Baru. Namun kemudian ketika didirikan pos yang baru,
bergeserlah letaknya ke sebelah Selatan atau tepatnya di muara sungai
Tangerang.
Menurut arsip Gewone Resolutie
Van hat Casteel Batavia tanggal 3 April 1705 ada rencana merobohkan
bangunan-bangunan dalam pos karena hanya berdinding bambu. Kemudian bangunannya
diusulkan diganti dengan tembok. Gubernur Jenderal Zwaardeczon sangat
menyetujui usulan tersbut, bahkan diinstruksikan untuk membuat pagar tembok
mengelilingi bangunan-bangunan dalam pos penjagaan. Hal ini dimaksudkan agar
orang Banten tidak dapat melakukan penyerangan. Benteng baru yang akan dibangun
untuk ditempati itu direncanakan punya ketebalan dinding 20 kaki atau lebih.
Disana akan ditempatkan 30 orang Eropa dibawah pimpinan seorang Vandrig(Peltu)
dan 28 orang Makasar yang akan tinggal diluar benteng. Bahan dasar benteng
adalah batu bata yang diperoleh dari Bupati Tangerang Aria Soetadilaga I.
Setelah benteng
selesai dibangun personilnya menjadi 60 orang Eropa dan 30 orang hitam. Yang
dikatakan orang hitam adalah orang-orang Makasar yang direkrut sebagai serdadu
kompeni. Benteng ini kemudian menjadi basis kompeni dalam menghadapi
pemberontakan dari Banten. Kemudian pada tahun 1801, diputuskan untuk
memperbaiki dan memperkuat pos atau garnisun itu, dengan letak bangunan baru 60
roeden agak ke tenggara, tepatnya terletak disebelah timur Jalan Besar pal 17.
Orang-orang pribumi pada waktu itu lebih mengenal bangunan ini dengan sebutan
”Benteng”. Sejak itu, Tangerang terkenal dengan sebutan Benteng. Benteng ini
sejak tahun 1812 sudah tidak terawat lagi, bahkan menurut ”Superintendant of
Publik Building and Work” tanggal 6 Maret 1816 menyatakan: ”...Benteng dan
barak di Tangerang sekarang tidak terurus, tak seorangpun mau melihatnya lagi.
Pintu dan jendela banyak yang rusak bahkan diambil orang untuk kepentingannya”.
Kabupaten Tangerang
sejak ratusan tahun lalu sudah menjadi daerah perlintasan perniagaan, perhubungan
sosial dan interaksi antardaerah lain. Hal ini, disebabkan letak daerah ini
yang berada di dua poros pusat perniagaan Jakarta - Banten.
Berdasarkan catatan
sejarah, daerah ini sarat dengan konflik kepentingan perniagaan dan kekuasaan
wilayah antara Kesultanan Banten dengan Penjajah Belanda.
Secara tutur-tinular,
masa pemerintahan pertama secara sistematis yang bisa diungkapkan di daerah
dataran ini, adalah saat Kesultanan Banten yang terus terdesak agresi penjajah
Belanda lalu mengutus tiga maulananya yang berpangkat aria untuk membuat
perkampungan pertahanan di Tangerang.
Ketiga maulana itu
adalah Maulana Yudanegara, Wangsakerta dan Santika. Konon, basis pertahanan
merka berada di garis pertahanan ideal yang kini disebut kawasan Tigaraksa dan
membentuk suatu pemerintahan. Sebab itu, di legenda rakyat cikal-bakal
Kabupaten Tangerang adalah Tigaraksasa [sebutan Tigaraksasa, diambil dari
sebutan kehormatan kepada tiga maulana sebagai tiga pimpinan = tiangtiga =
Tigaraksa].
Pemerintahan ketiga maulana
ini, pada akhirnya dapat ditumbangkan dan seluruh wilayah pemerintahannya
dikuasai Belanda, berdasar catatan sejarah terjadi tahun 1684. Berdasar catatan
pada masa ini pun, lahir sebutan kota Tangerang. Sebutan Tangerang lahir ketika
Pangeran Soegri, salah seorang putra Sultan Ageng Tirtayasa dari Kesultanan
Banten membangun tugu prasasti di bagian barat Sungai Cisadane [diyakini di
kampung Gerendeng, kini].
Tugu itu disebut
masyarakat waktu itu dengan Tangerang [bahasa Sunda=tanda] memuat prasasti dalam
bahasa Arab Gundul Jawa Kuno, "Bismillah peget Ingkang Gusti/Diningsun
juput parenah kala Sabtu/Ping Gangsal Sapar Tahun Wau/ Rengsenaperang netek
Nangeran/Bungas wetan Cipamugas kilen Cidurian/Sakabeh Angraksa Sitingsun
Parahyang"
Arti tulisan prasasti
itu adalah: "Dengan nama Allah tetap Yang Maha Kuasa/Dari kami mengambil
kesempatan pada hari Sabtu/Tanggal 5 Sapar Tahun Wau/Sesudah perang kita
memancangkan tugu/Untuk mempertahankan batas timur Cipamugas [Cisadane] dan
barat Cidurian/ Semua menjaga tanah kaum Parahyang"
Diperkirakan sebutan
Tangeran, lalu lama-kelamaan berubah sebutan menjadi Tangerang.
Desakan pasukan Belanda semakin menjadi-jadi di Banten sehingga memaksa dibuatnya perjanjian antar kedua belah pihak pada 17 April 1684 yang menjadikan daerah Tangerang seluruhnya masuk kekuasaan Penjajah Belanda. Sebagai wujud kekuasaannya, Belanda pun membentuk pemerintahan kabupaten yang lepas dari Banten dengan dibawah pimpinan seorang bupati.
Desakan pasukan Belanda semakin menjadi-jadi di Banten sehingga memaksa dibuatnya perjanjian antar kedua belah pihak pada 17 April 1684 yang menjadikan daerah Tangerang seluruhnya masuk kekuasaan Penjajah Belanda. Sebagai wujud kekuasaannya, Belanda pun membentuk pemerintahan kabupaten yang lepas dari Banten dengan dibawah pimpinan seorang bupati.
Para bupati yang
sempat memimpin Kabupaten Tangerang periode tahun 1682 - 1809 adalah Kyai Aria
Soetadilaga I-VII. Setelah keturunan Aria Soetadilaga dinilai tak mampu lagi
memerintah kabupaten Tangerang dengan baik, akhirnya penjajah Belanda menghapus
pemerintahan di daerah ini dan memindahkan pusat pemerintahan ke Jakarta.
Lalu, dibuat kebijakan
sebagian tanah di daerah itu dijual kepada orang-orang kaya di Jakarta,
sebagian besarnya adalah orang-orang Cina kaya sehingga lahir masa tuan tanah
di Tangerang.
Pada 8 Maret 1942,
Pemerintahan Penjajah Belanda berakhir di gantikan Pemerintahan Penjajah
Jepang. Namun terjadi serangan sekutu yang mendesak Jepang di berbagai tempat,
sebab itu Pemerintahan Militer Jepang mulai memikirkan pengerahan pemuda-pemuda
Indonesia guna membantu usaha pertahanan mereka sejak kekalahan armadanya di
dekat Mid-way dan Kepulauan Solomon.
Kemudian pada tanggal
29 April 1943 dibentuklah beberapa organisasi militer, diantaranya yang
terpenting ialah Keibodan [barisan bantu polisi] dan Seinendan [barisan
pemuda]. Disusul pemindahan kedudukan Pemerintahan Jakarta Ken ke Tangerang
dipimpin oleh Kentyo M Atik Soeardi dengan pangkat Tihoo Nito Gyoosieken atas
perintah Gubernur Djawa Madoera. Adapun Tangerang pada waktu itu masih
berstatus Gun atau kewedanan berstatus ken (kabupaten).
Berdasar Kan Po No.
34/2604 yang menyangkut pemindahan Jakarta Ken Yaskusyo ke Tangerang, maka
Panitia Hari Jadi Kabupaten Tangerang menetapkan terbentuknya pemerintahan di
Kabupaten Tangerang. Sebab itu , kelahiran pemerintahan daerah ini adalah pada
tanggal 27 Desember 1943. Selanjutnya penetapan ini dikukuhkan dengan Peraturan
Daerah Tingkat II Kabupaten Tangerang Nomor 18 Tahun 1984 tertanggal 25 Oktober
1984.
Dalam masa-masa
proklamasi, telah terjadi beberpa peristiwa besar yang melibatkan tentara dan
rakyat Kabupaten Tangerang dengan pasukan Jepang dan Belanda, yaitu Pertempuran
Lengkong dan Pertempuran Serpong.
Pertumbuhan
perekonomian Kabupaten Tangerang sebagai daerah lintasan dan berdekatan dengan
Ibukota Negara Jakarta melesat pesat. Apalagi setelah diterbitkannya Inpres
No.13 Tahun 1976 tentang pengembangan Jabotabek, di mana kabupaten Tangerang
menjadi daerah penyanggah DKI Jakarta.
Tanggal 28 Pebruari
1993 terbit UU No. 2 Tahun 1993 tentang Pembentukan Kota Tangerang. Berdasarkan
UU ini wilayah Kota Administratif Tangerang dibentuk menjadi daerah otonomi
Kota Tangerang, yang lepas dari Kabupaten Tangerang. Berkaitan itu terbit pula
Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 1995 tentang pemindahan Ibukota Kabupaten
Dati II Tangerang dari Wilayah Kotamadya Dati II Tangerang ke Kecamatan
Tigaraksa.
Akhirnya, pada awal
tahun 2000, pusat pemerintahan Kabupaten Tangerang pun di pindahkan Bupati H.
Agus Djunara ke Ibukota Tigaraksa. Pemindahan ini dinilai strategis dalam upaya
memajukan daerah karena bertepatan dengan penerapan otonomi daerah,
diberlakukannya perimbangan keuangan pusat dan daerah, adanya revisi pajak dan
retribusi daerah, serta terbentuknya Propinsi Banten.
Arti lambing daerah :
1. Lambang daerah berbentuk perisai dengan perincian sebagai
berikut:
a. Bagian atas: Terdiri dari susunan bata merah dengan
lima buah puncak,
b. Bagian tengah: Dengan warna hijau,
terdiri dari empat batang bambu berbentuk persegi panjang berjumlah empat puluh tiga ruas
dengan warna kuning emas. Didalam persegi panjang tersebut terdapat gambar
sebuah topi bambu berwarna kuning emas, seuntai buah padi dengan jumlah butir
dua puluh tujuh juga berwarna kuning emas dan seuntai bunga kapas berjumlah dua
belas dengan warna putih dan tangkai warna hijau.
c. Bagian bawah: Terdiri dari tiga buah
garis putih berombak dan empat buah garis biru berombak.
2.
Motto Satya Karya Kerta Raharja warna putih ditulis pada pita warna coklat,
kedua ujungnya dilipat terletak di bawah perisai. ARTI LAMBANG DAERAH: Warna
merah mempunyai arti semangat dan keberanian, Warna hijau mempunyai arti
kemakmuran dan kesuburan, Warna kuning mempunyai arti keadilan, wibawa dan
keagungan, Warna putih mempunyai arti kesucian dan kebersihan, Warna biru
mempunyai arti kesetiaan dan kebijaksanaan, Warna coklat mempunyai arti
kedewasaan, Warna hitam mempunyai arti keteguhan dan ketabahan.
a. Bagian atas: Puncak perisai lima buah
berlambang Pancasila yang menjadi dasar negara Republik Indonesia, Susunan bata
merupakan lambang benteng pertahanan yang mengingatkan kita kepada kepahlawanan
rakyat Kabupaten Tangerang, Jumlah bata melambangkan tanggal, bulan dan tahun
proklamasi kemerdekaan negara Republik Indonesia yaitu tujuh belas, bulan
delapan, tahun empat puluh lima.
b.
Bagian tengah: Jumlah butir padi, bunga kapas dan ruas bambu melambangkan
tanggal, bulan dan tahun jadi Pemerintah Kabupaten Tangerang, yaitu:
a) Dua puluh tujuh
butir padi melambangkan tanggal dua puluh tujuh,
b) Dua belas bunga
kapas melambangkan bulan dua belas,
c)
Empat puluh tiga ruas bambu melambangkan tahun empat puluh tiga. Sedangkan,
Topi bambu melambangkan hasil kerajinan dan industri Kabupaten Tangerang.
Bagian bawah:
1).
Garis putih berombak melambangkan bahwa Kabupaten Tangerang dilintasi oleh
sungai-sungai besar,
2)
Garis biru berombak melambangkan laut dimana Kabupaten Tangerang merupakan
daerah pantai.
Sumber
:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar