Rabu, 17 Desember 2014

REF: KEHIDUPAN MATERIALISME DI NEGARAKU

 
 
Kata materialisme terdiri dari kata materi dan isme. Materialisme adalah paham dalam filsafat yang menyatakan bahwa hal yang dapat dikatakan benar-benar ada adalah materi. Pada dasarnya semua hal terdiri atas materi dan semua fenomena adalah hasil interaksi material. Materi adalah satu-satunya substansi. Sebagai teori, materialisme termasuk paham ontologi monistik. Akan tetapi, materialisme berbeda dengan teori ontologis yang didasarkan pada dualisme atau pluralisme. Dalam memberikan penjelasan tunggal tentang realitas, materialisme berseberangan dengan idealisme. Materialisme tidak mengakui adanya entitas–entitas nonmaterial seperti tuhan, malaikat, setan, roh, dan sebagainya. Hanya realitas satu-satunya adalah materi dan segala sesuatu merupakan manifestasi dari aktivitas materi. Materi dan aktivitasnya bersifat abadi.
 
Materialisme adalah salah satu paham filsafat yang banyak dianut oleh para filosof, seperti Demokritus, Thales, Anaximanoros dan Horaklitos. Paham ini menganggap bahwa materi berada di atas segala-galanya. Ketika paham ini pertama muncul, paham tersebut tidak mendapat banyak perhatian karena banyak ahli filsafat yang menganggap bahwa paham ini aneh dan mustahil. Namun pada sekitar abad 19 paham materialisme ini tumbuh subur di Barat karena sudah banyak para filosof yang menganut paham tersebut.
Filsafat materialisme inilah yang mempengaruhi filosof alam dalam menyelidiki asal-usul kejadian alam ini. Di antara filosof-filosof alam tersebut adalah:
·         Thales (625-545 SM) berpendapat bahwa unsur asal adalah air.
·         Anaximenes (585-528 SM) berpendapat bahwa unsur asal adalah udara.
·         Heraklitos (540-475 SM) berpendapat bahwa unsur asal adalah api.
·         Demokritus (460-360 SM) berpendapat bahwa hakikat alam adalah atom-atom yang amat banyak dan halus. Atom-atom itulah yang menjadi asal kejadian alam semesta.
 
Sedangkan materialisme dialektika secara singkat dapat diterangkan sebagai paham yang berkeyakinan bahwa segala perubahan yang terjadi di alam semesta adalah akibat dari konflik persaingan dan kepentingan pribadi antar kekuatan yang saling bertentangan. Ahli-ahli pikir yang meletakkan dasar bagi sistem ini adalah Karl Marx (1818-1883) dan Friederich Engels (1820-1895). Marx dan Engels menggunakan dialektika untuk menjelaskan keseluruhan sejarah dunia. Marx menyatakan bahwa sejarah kemanusiaan senantiasa didasarkan pada konflik, yang terutama antara kaum buruh (proletar) dan masyarakat kelas atas (borjuis). Ia meramalkan bahwa kaum buruh pada akhirnya akan menyadari bahwa harapan satu-satunya untuk mereka adalah bersatu dan melakukan revolusi. Di negara-negara komunis, materialisme dialektika merupakan filsafat resmi negara.
Materialisme berpandangan bahwa hakikat realisme adalah materi, bukan rohani, bukan spiritual, atau supranatural. Filsafat materialisme memandang bahwa materi lebih dahulu ada sedangkan ide atau pikiran timbul setelah melihat materi. Dengan kata lain materialisme mengakui bahwa materi menentukan ide, bukan ide menentukan materi. Contoh: karena meja atau kursi secara objektif ada, maka orang berpikir tentang meja dan kursi. Bisakah seseorang memikirkan meja atau kursi sebelum benda yang berbentuk meja dan kursi belum atau tidak ada.
 
Ciri-ciri filsafat materialisme :
1.    Segala yang ada (wujud) berasal dari satu sumber yaitu materi.
2.    Tidak meyakini adanya alam ghaib.
3.    Menjadikan panca-indera sebagai satu-satunya alat mencapai ilmu.
4.    Memposisikan ilmu sebagai pengganti agama dalam peletakkan hukum.
5.    Menjadikan kecondongan dan tabiat manusia sebagai akhlaq.
 
Aliran materialisme tidak hanya di terapkan atau dipelajari dalam ilmu filsafat, tetapi dalam kehidupan nyata. Banyak orang yang mengadopsi aliran materialisme untuk menunjang hidupnya baik dari kalangan atas maupun bawah, dari anak kecil hingga orang dewasa bahkan laki-laki maupun perempuan pun ikut sertamerta. Hal tersebut sudah menjadi sarapan bagi Negara Indonesia. Kenapa tidak? Mulai dari bidang politik, ekonomi, sosial, pendidikan hingga kesejahteraan pun didalamnya terdapat campurtangan matearialisme. Tidak heran kalau Negara Indonesia hanya menjadi Negara berkembang yang hanya dapat berangan-angan menjadi Negara maju.
Salah satu fenomena materialisme menurut macamnya yang terjadi saat ini adalah materialisme metafisik yaitu sebagian orang yang memandang dunia secara sepotong-sepotong atau dikotak-kotakan tidak menyeluruh dan statis. Hal tersebut dapat kita jumpai dalam kehidupan bermasyarakat misalnya “ sekali maling tetap maling”, memandang orang seperti sudah ditakdirkan dan tidak bisa berubah lagi. Sedangkan materialisme dialetika yaitu seseorang yang memandang segala sesuatu saling berhubungan dan perkembangan gejala-gejala yang berlaku secara objektif di dalam alam semesta. Hal tersebut dapat kita jumpai dalam kehidupan misalnya “bumi berputar terus, ada siang ada malam”, “habis gelap timbullah terang” dan sebagainya. Semua pikiran ini menunjukkan bahwa dunia dan kehidupan kita senantiasa berkembang.
Selain materialisme menurut macamnya ada juga contoh-contoh materialisme yang ada di Indonesia. Salah satu fenomena materialisme yang akan kitabahas yaitu korupsi. Kata korupsi sudah sangat melekat di benak kita. Mendengar kata tersebut secara otomatis menimbulkan konotasi atau pemahaman yang negatif di pikiran kita. Korupsi berasal dari bahasa latin yaitu ‘corruptio’.
Transparency International menerjemahkan korupsi sebagai bentuk perilaku atau tingkah laku dari pejabat publik, politikus atau politisi, pegawai negeri sipil yang dilakukan secara tidak wajar atau illegal dengan tujuan untuk memperkaya diri atau orang-orang yang dekat dengan mereka, dengan cara menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.
Penyebab terjadinya korupsi karena:
1.     Kekuasaan terkonsentrasi pada pengambil keputusan yang tidak bertanggung jawab langsung kepada rakyat , seperti yang sering terlihat di rezim-rezim yang bukan demokratik;
2.      Tidak adanya transparansi di pengambilan keputusan pemerintah;
3.      Biaya politik yang mahal, dengan pengeluaran lebih besar dari pendanaan politik yang normal;
4.      Proyek yang melibatkan uang rakyat dalam jumlah besar;
5.      Lingkungan tertutup yang mementingkan diri sendiri dan jaringan “teman lama”;
6.      Lemahnya ketertiban hukum;
7.      Lemahnya profesi hukum;
8.      Kurangnya kebebasan berpendapat atau kebebasan media massa;
9.      Gaji pegawai pemerintah yang sangat kecil;
10.  Rakyat yang cuek, tidak tertarik, atau mudah dibohongi yang gagal memberikan perhatian yang cukup ke pemilihan umum;
11.  Ketidakadaannya kontrol yang cukup untuk mencegah penyuapan atau “sumbangan kampanye”.
Beberapa jenis tindak pidana korupsi antara lain :
1.      Memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan);
2.      Penggelapan dalam jabatan;
3.      Pemerasan dalam jabatan;
4.      Ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara);
5.      Menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara).
Tindak pidana korupsi seperti yang telah disebutkan di atas sangat rentan terjadi di jajaran pemerintahan (birokrasi) dan legislatif. Mulai dari level atas sampai dengan bawah memberikan peluang terjadinya korupsi. Apalagi pasca reformasi, merebaknya kebijakan otonomi daerah memberikan peluang kepada daerah-daerah untuk memisahkan diri dari pusat dan membentuk wilayah baru dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Bila dilihat dari sisi positifnya, kebijakan tersebut memberikan kesempatan kepada daerah untuk mengelola daerahnya sendiri dan mendapatkan hasil dari sumber daya yang ada (sumber daya manusia dan sumber daya alam), memperluas kesempatan kerja dengan adanya instansi-instansi pemerintahan maupun swasta, memberikan peluang dunia usaha baru bagi masyarakat daerah. Kesemuanya itu bertujuan untuk meningkatkan perekonomian daerah.
Namun sisi negatifnya, apabila daerah tidak mampu membiayai sendiri daerahnya malahan membebani APBN. Peluang terciptanya raja-raja kecil justru merugikan masyarakatnya sendiri. Kapasitas sdm yang belum memadai menjadi beban bagi daerah karena kekurangan tenaga ahli. Ditambah lagi dengan pilkada (pemilihan kepala daerah) yang terus-menerus terjadi hampir di seluruh Indonesia semakin membebani APBN. Disini justru peluang terjadinya korupsi semakin besar.
Korupsi di Indonesia telah merajalela terutama sejak kemimpinan Soeharto. Budaya korupsi yang telah mendarah daging selama lebih dari 30 (tiga puluh) tahun ternyata tidak mudah diberantas seperti membalikkan telapak tangan. Penyalahgunaan kekuasaan semasa kepemimpinan Soeharto mengakibatkan terjadinya korupsi di jajaran pemerintahan mulai dari level atas sampai dengan bawah.
Terjadinya gerakan reformasi pada tahun 1998, merupakan suatu bentuk aksi protes masyarakat yang diwakili mahasiswa untuk menjatuhkan rezim orde baru yang terkenal sarat dengan KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme). Namun, sayangnya pasca reformasi upaya ini masih belum berhasil. Karena semakin banyaknya kasus korupsi yang terjadi di jajaran pemerintahan (eksekutif) dan DPR/DPRD (legislatif).
Upaya untuk mengungkap kasus korupsi ini masih belum sepenuhnya dilakukan. Terbukti masih banyak kasus-kasus lama salah satunya kasus mantan presiden Soeharto yang tidak dapat dituntaskan sampai dengan meninggalnya yang belum selesai ditambah lagi kasus-kasus baru yang belum tertangani.
Proses pergantian kepemimpinan sebanyak empat kali pasca reformasi 1998, mulai dari BJ. Habibie, Gus Dur, Megawati, dan SBY belum mampu mengatasi persoalan korupsi ini. Perilaku korupsi yang sulit diberantas ini mulai dari jajaran atas sampai dengan jajaran bawah di pemerintahan, baik secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi bagaikan ‘lingkaran setan’ yang tidak ada ujungnya.
Korupsi yang telah terjadi dan menumpuk-numpuk ini menempatkan Indonesia menjadi negara terkorup dengan urutan 130 dari 163 negara pada tahun 2006. Kondisi ini sungguh memprihatinkan karena korupsi yang terjadi menyebabkan kemiskinan dan pengangguran semakin bertambah. Cita-cita kemerdekaan untuk “menciptakan kesejahteraan masyarakat Indonesia yang adil dan merata”, hanya merupakan slogan kosong tanpa makna. Hal ini terjadi karena perilaku dari aparat pemerintahan sendiri. Maka dengan ini dibutuhkan kesadaran bersama antara pemerintah/aparat dan masyarakat untuk saling mengawasi, melaporkan dan menindak perilaku korup ini.
Dengan mempelajari filsafat ini, maka kita akan dibawa kepada suatu panorama pengetahuan yang luas, dalam, dan kritis, yang menggambarkan esensi manusia. Panorama pengetahuan seperti itu, paling tidak, mempunyai manfaat ganda, yakni manfaat praktis dan teoretis. Secara praktis filsafat tidak saja berguna untuk mengetahui apa dan siapa manusia secara menyeluruh, melainkan juga untuk mengetahui siapakah sesungguhnya diri kita didalam pemahaman tentang manusia yang menyeluruh itu. Pemahaman yang demikian pada gilirannya akan memudahkan kita dalam mengambil keputusan-keputusan praktis atau dalam menjalankan berbagai aktifitas hidup sehari-hari, dalam mengambil makna dan arti dari setiap peristiwa yang setiap saat kita jalani dalam menentukan arah dan tujuan hidup kita. Sedangkan secara teoritis, filsafat mampu memberikan kepada kita pemahaman yang esensial tentang manusia. Sehingga pada gilirannya kita bias meninjau secara kritis asumsi-asumsi yang tersembunyi dibalik teori-teori yang terdapat didalam ilmu-ilmu tentang manusia.
Sumber :
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar