Kata materialisme terdiri dari kata
materi dan isme. Materialisme adalah paham dalam filsafat yang menyatakan bahwa hal yang dapat dikatakan benar-benar ada adalah materi. Pada dasarnya semua hal terdiri
atas materi dan semua fenomena adalah hasil interaksi material. Materi adalah
satu-satunya substansi. Sebagai teori, materialisme termasuk paham
ontologi monistik. Akan tetapi, materialisme berbeda dengan teori ontologis yang didasarkan pada dualisme atau pluralisme. Dalam memberikan penjelasan tunggal tentang realitas,
materialisme berseberangan dengan idealisme. Materialisme tidak mengakui
adanya entitas–entitas nonmaterial seperti tuhan, malaikat, setan, roh, dan
sebagainya. Hanya realitas satu-satunya adalah materi dan segala sesuatu
merupakan manifestasi dari aktivitas materi. Materi dan aktivitasnya bersifat
abadi.
Materialisme adalah salah satu paham
filsafat yang banyak dianut oleh para filosof, seperti Demokritus, Thales,
Anaximanoros dan Horaklitos. Paham ini menganggap bahwa materi berada di atas
segala-galanya. Ketika paham ini pertama muncul, paham tersebut tidak mendapat
banyak perhatian karena banyak ahli filsafat yang menganggap bahwa paham ini
aneh dan mustahil. Namun pada sekitar abad 19 paham materialisme ini tumbuh
subur di Barat karena sudah banyak para filosof yang menganut paham tersebut.
Filsafat materialisme inilah yang mempengaruhi filosof alam
dalam menyelidiki asal-usul kejadian alam ini. Di antara filosof-filosof alam
tersebut adalah:
·
Thales (625-545 SM) berpendapat
bahwa unsur asal adalah air.
·
Anaximenes (585-528 SM) berpendapat
bahwa unsur asal adalah udara.
·
Heraklitos (540-475 SM) berpendapat
bahwa unsur asal adalah api.
·
Demokritus (460-360 SM) berpendapat
bahwa hakikat alam adalah atom-atom yang amat banyak dan halus. Atom-atom
itulah yang menjadi asal kejadian alam semesta.
Sedangkan materialisme dialektika secara singkat dapat
diterangkan sebagai paham yang berkeyakinan bahwa segala perubahan yang terjadi
di alam semesta adalah akibat dari konflik persaingan dan kepentingan pribadi
antar kekuatan yang saling bertentangan. Ahli-ahli pikir yang meletakkan dasar
bagi sistem ini adalah Karl Marx (1818-1883) dan Friederich Engels (1820-1895).
Marx dan Engels menggunakan dialektika untuk menjelaskan keseluruhan sejarah
dunia. Marx menyatakan bahwa sejarah kemanusiaan senantiasa didasarkan pada
konflik, yang terutama antara kaum buruh (proletar) dan masyarakat kelas atas
(borjuis). Ia meramalkan bahwa kaum buruh pada akhirnya akan menyadari bahwa
harapan satu-satunya untuk mereka adalah bersatu dan melakukan revolusi. Di
negara-negara komunis, materialisme dialektika merupakan filsafat resmi negara.
Materialisme berpandangan bahwa hakikat realisme adalah
materi, bukan rohani, bukan spiritual, atau supranatural. Filsafat materialisme
memandang bahwa materi lebih dahulu ada sedangkan ide atau pikiran timbul
setelah melihat materi. Dengan kata lain materialisme mengakui bahwa materi
menentukan ide, bukan ide menentukan materi. Contoh: karena meja atau kursi
secara objektif ada, maka orang berpikir tentang meja dan kursi. Bisakah
seseorang memikirkan meja atau kursi sebelum benda yang berbentuk meja dan
kursi belum atau tidak ada.
Ciri-ciri filsafat materialisme :
1.
Segala yang ada (wujud) berasal dari
satu sumber yaitu materi.
2.
Tidak meyakini adanya alam ghaib.
3.
Menjadikan panca-indera sebagai
satu-satunya alat mencapai ilmu.
4.
Memposisikan ilmu sebagai pengganti
agama dalam peletakkan hukum.
5.
Menjadikan kecondongan dan tabiat
manusia sebagai akhlaq.
Aliran materialisme tidak hanya di
terapkan atau dipelajari dalam ilmu filsafat, tetapi dalam kehidupan nyata.
Banyak orang yang mengadopsi aliran materialisme untuk menunjang hidupnya baik
dari kalangan atas maupun bawah, dari anak kecil hingga orang dewasa bahkan
laki-laki maupun perempuan pun ikut sertamerta. Hal tersebut sudah menjadi
sarapan bagi Negara Indonesia. Kenapa tidak? Mulai dari bidang politik,
ekonomi, sosial, pendidikan hingga kesejahteraan pun didalamnya terdapat
campurtangan matearialisme. Tidak heran kalau Negara Indonesia hanya menjadi
Negara berkembang yang hanya dapat berangan-angan menjadi Negara maju.
Salah satu fenomena materialisme
menurut macamnya yang terjadi saat ini adalah materialisme metafisik yaitu
sebagian orang yang memandang dunia secara sepotong-sepotong atau
dikotak-kotakan tidak menyeluruh dan statis. Hal tersebut dapat kita jumpai
dalam kehidupan bermasyarakat misalnya “ sekali maling tetap maling”, memandang
orang seperti sudah ditakdirkan dan tidak bisa berubah lagi. Sedangkan
materialisme dialetika yaitu seseorang yang memandang segala sesuatu saling
berhubungan dan perkembangan gejala-gejala yang berlaku secara objektif di
dalam alam semesta. Hal tersebut dapat kita jumpai dalam kehidupan misalnya
“bumi berputar terus, ada siang ada malam”, “habis gelap timbullah terang” dan
sebagainya. Semua pikiran ini menunjukkan bahwa dunia dan kehidupan kita
senantiasa berkembang.
Selain
materialisme menurut macamnya ada juga contoh-contoh materialisme yang ada di
Indonesia. Salah satu fenomena materialisme yang akan kitabahas yaitu korupsi. Kata korupsi
sudah sangat melekat di benak kita. Mendengar kata tersebut secara otomatis
menimbulkan konotasi atau pemahaman yang negatif di pikiran kita. Korupsi
berasal dari bahasa latin yaitu ‘corruptio’.
Transparency International
menerjemahkan korupsi sebagai bentuk perilaku atau tingkah laku dari pejabat
publik, politikus atau politisi, pegawai negeri sipil yang dilakukan secara
tidak wajar atau illegal dengan tujuan untuk memperkaya diri atau orang-orang
yang dekat dengan mereka, dengan cara menyalahgunakan kekuasaan publik yang
dipercayakan kepada mereka.
Penyebab terjadinya korupsi
karena:
1. Kekuasaan
terkonsentrasi pada pengambil keputusan yang tidak bertanggung jawab langsung
kepada rakyat , seperti yang sering terlihat di rezim-rezim yang bukan
demokratik;
2.
Tidak
adanya transparansi di pengambilan keputusan pemerintah;
3.
Biaya
politik yang mahal, dengan pengeluaran lebih besar dari pendanaan politik yang
normal;
4.
Proyek
yang melibatkan uang rakyat dalam jumlah besar;
5.
Lingkungan
tertutup yang mementingkan diri sendiri dan jaringan “teman lama”;
6.
Lemahnya
ketertiban hukum;
7.
Lemahnya
profesi hukum;
8.
Kurangnya
kebebasan berpendapat atau kebebasan media massa;
9.
Gaji
pegawai pemerintah yang sangat kecil;
10. Rakyat yang
cuek, tidak tertarik, atau mudah dibohongi yang gagal memberikan perhatian yang
cukup ke pemilihan umum;
11. Ketidakadaannya
kontrol yang cukup untuk mencegah penyuapan atau “sumbangan kampanye”.
Beberapa jenis
tindak pidana korupsi antara lain :
1.
Memberi
atau menerima hadiah atau janji (penyuapan);
2.
Penggelapan
dalam jabatan;
3.
Pemerasan
dalam jabatan;
4.
Ikut
serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara);
5.
Menerima
gratifikasi (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara).
Tindak pidana
korupsi seperti yang telah disebutkan di atas sangat rentan terjadi di jajaran
pemerintahan (birokrasi) dan legislatif. Mulai dari level atas sampai dengan
bawah memberikan peluang terjadinya korupsi. Apalagi pasca reformasi,
merebaknya kebijakan otonomi daerah memberikan peluang kepada daerah-daerah
untuk memisahkan diri dari pusat dan membentuk wilayah baru dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Bila dilihat dari
sisi positifnya, kebijakan tersebut memberikan kesempatan kepada daerah untuk
mengelola daerahnya sendiri dan mendapatkan hasil dari sumber daya yang ada
(sumber daya manusia dan sumber daya alam), memperluas kesempatan kerja dengan
adanya instansi-instansi pemerintahan maupun swasta, memberikan peluang dunia
usaha baru bagi masyarakat daerah. Kesemuanya itu bertujuan untuk meningkatkan
perekonomian daerah.
Namun sisi
negatifnya, apabila daerah tidak mampu membiayai sendiri daerahnya malahan
membebani APBN. Peluang terciptanya raja-raja kecil justru merugikan
masyarakatnya sendiri. Kapasitas sdm yang belum memadai menjadi beban bagi
daerah karena kekurangan tenaga ahli. Ditambah lagi dengan pilkada (pemilihan
kepala daerah) yang terus-menerus terjadi hampir di seluruh Indonesia semakin
membebani APBN. Disini justru peluang terjadinya korupsi semakin besar.
Korupsi di
Indonesia telah merajalela terutama sejak kemimpinan Soeharto. Budaya korupsi
yang telah mendarah daging selama lebih dari 30 (tiga puluh) tahun ternyata
tidak mudah diberantas seperti membalikkan telapak tangan. Penyalahgunaan
kekuasaan semasa kepemimpinan Soeharto mengakibatkan terjadinya korupsi di
jajaran pemerintahan mulai dari level atas sampai dengan bawah.
Terjadinya
gerakan reformasi pada tahun 1998, merupakan suatu bentuk aksi protes
masyarakat yang diwakili mahasiswa untuk menjatuhkan rezim orde baru yang
terkenal sarat dengan KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme). Namun, sayangnya
pasca reformasi upaya ini masih belum berhasil. Karena semakin banyaknya kasus
korupsi yang terjadi di jajaran pemerintahan (eksekutif) dan DPR/DPRD
(legislatif).
Upaya untuk
mengungkap kasus korupsi ini masih belum sepenuhnya dilakukan. Terbukti masih
banyak kasus-kasus lama salah satunya kasus mantan presiden Soeharto yang tidak
dapat dituntaskan sampai dengan meninggalnya yang belum selesai ditambah lagi
kasus-kasus baru yang belum tertangani.
Proses
pergantian kepemimpinan sebanyak empat kali pasca reformasi 1998, mulai dari
BJ. Habibie, Gus Dur, Megawati, dan SBY belum mampu mengatasi persoalan korupsi
ini. Perilaku korupsi yang sulit diberantas ini mulai dari jajaran atas sampai
dengan jajaran bawah di pemerintahan, baik secara terang-terangan maupun
sembunyi-sembunyi bagaikan ‘lingkaran setan’ yang tidak ada ujungnya.
Korupsi yang
telah terjadi dan menumpuk-numpuk ini menempatkan Indonesia menjadi negara
terkorup dengan urutan 130 dari 163 negara pada tahun 2006. Kondisi ini sungguh
memprihatinkan karena korupsi yang terjadi menyebabkan kemiskinan dan
pengangguran semakin bertambah. Cita-cita kemerdekaan untuk “menciptakan
kesejahteraan masyarakat Indonesia yang adil dan merata”, hanya merupakan
slogan kosong tanpa makna. Hal ini terjadi karena perilaku dari aparat
pemerintahan sendiri. Maka dengan ini dibutuhkan kesadaran bersama antara
pemerintah/aparat dan masyarakat untuk saling mengawasi, melaporkan dan
menindak perilaku korup ini.
Dengan
mempelajari filsafat ini, maka kita akan dibawa kepada suatu panorama
pengetahuan yang luas, dalam, dan kritis, yang menggambarkan esensi manusia.
Panorama pengetahuan seperti itu, paling tidak, mempunyai manfaat ganda, yakni
manfaat praktis dan teoretis. Secara praktis
filsafat tidak saja berguna untuk mengetahui apa dan siapa manusia secara
menyeluruh, melainkan juga untuk mengetahui siapakah sesungguhnya diri kita
didalam pemahaman tentang manusia yang menyeluruh itu. Pemahaman yang demikian
pada gilirannya akan memudahkan kita dalam mengambil keputusan-keputusan
praktis atau dalam menjalankan berbagai aktifitas hidup sehari-hari, dalam
mengambil makna dan arti dari setiap peristiwa yang setiap saat kita jalani
dalam menentukan arah dan tujuan hidup kita. Sedangkan secara teoritis,
filsafat mampu memberikan kepada kita pemahaman yang esensial tentang manusia.
Sehingga pada gilirannya kita bias meninjau secara kritis asumsi-asumsi yang tersembunyi dibalik teori-teori yang terdapat
didalam ilmu-ilmu tentang manusia.
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar