Rabu, 17 Desember 2014

Budaya Korupsi Cermin Bangsa


Kata korupsi sudah sangat melekat di benak kita. Mendengar kata tersebut secara otomatis menimbulkan konotasi atau pemahaman yang negatif di pikiran kita. Korupsi berasal dari bahasa latin yaitu ‘corruptio’. Kata ini berasal dari kata kerja ‘corrumpere’ yang artinya busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok.
Transparency International menerjemahkan korupsi sebagai bentuk perilaku atau tingkah laku dari pejabat publik, politikus atau politisi, pegawai negeri sipil yang dilakukan secara tidak wajar atau illegal dengan tujuan untuk memperkaya diri atau orang-orang yang dekat dengan mereka, dengan cara menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.
Penyebab terjadinya korupsi karena
(1) kekuasaan terkonsentrasi pada pengambil keputusan yang tidak bertanggung jawab langsung kepada rakyat , seperti yang sering terlihat di rezim-rezim yang bukan demokratik;
(2) tidak adanya transparansi di pengambilan keputusan pemerintah;
(3) biaya politik yang mahal, dengan pengeluaran lebih besar dari pendanaan politik yang normal;
(4) proyek yang melibatkan uang rakyat dalam jumlah besar;
(5) lingkungan tertutup yang mementingkan diri sendiri dan jaringan “teman lama”;
(6) lemahnya ketertiban hukum;
(7) lemahnya profesi hukum;
(8) kurangnya kebebasan berpendapat atau kebebasan media massa;
(9) gaji pegawai pemerintah yang sangat kecil;
(10) rakyat yang cuek, tidak tertarik, atau mudah dibohongi yang gagal memberikan perhatian yang cukup ke pemilihan umum;
(11) ketidakadaannya kontrol yang cukup untuk mencegah penyuapan atau “sumbangan kampanye”.
Beberapa jenis tindak pidana korupsi antara lain :
(1) memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan);
(2) penggelapan dalam jabatan;
(3) pemerasan dalam jabatan;
(4) ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara); (5) menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara).
Tindak pidana korupsi seperti yang telah disebutkan di atas sangat rentan terjadi di jajaran pemerintahan (birokrasi) dan legislatif. Mulai dari level atas sampai dengan bawah memberikan peluang terjadinya korupsi. Apalagi pasca reformasi, merebaknya kebijakan otonomi daerah memberikan peluang kepada daerah-daerah untuk memisahkan diri dari pusat dan membentuk wilayah baru dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Bila dilihat dari sisi positifnya, kebijakan tersebut memberikan kesempatan kepada daerah untuk mengelola daerahnya sendiri dan mendapatkan hasil dari sumber daya yang ada (sumber daya manusia dan sumber daya alam), memperluas kesempatan kerja dengan adanya instansi-instansi pemerintahan maupun swasta, memberikan peluang dunia usaha baru bagi masyarakat daerah. Kesemuanya itu bertujuan untuk meningkatkan perekonomian daerah.
Namun sisi negatifnya, apabila daerah tidak mampu membiayai sendiri daerahnya malahan membebani APBN. Peluang terciptanya raja-raja kecil justru merugikan masyarakatnya sendiri. Kapasitas sdm yang belum memadai menjadi beban bagi daerah karena kekurangan tenaga ahli. Ditambah lagi dengan pilkada (pemilihan kepala daerah) yang terus-menerus terjadi hampir di seluruh Indonesia semakin membebani APBN. Disini justru peluang terjadinya korupsi semakin besar.
Korupsi di Indonesia telah merajalela terutama sejak kemimpinan Soeharto. Budaya korupsi yang telah mendarah daging selama lebih dari 30 (tiga puluh) tahun ternyata tidak mudah diberantas seperti membalikkan telapak tangan. Penyalahgunaan kekuasaan semasa kepemimpinan Soeharto mengakibatkan terjadinya korupsi di jajaran pemerintahan mulai dari level atas sampai dengan bawah.
Terjadinya gerakan reformasi pada tahun 1998, merupakan suatu bentuk aksi protes masyarakat yang diwakili mahasiswa untuk menjatuhkan rezim orde baru yang terkenal sarat dengan KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme). Namun, sayangnya pasca reformasi upaya ini masih belum berhasil. Karena semakin banyaknya kasus korupsi yang terjadi di jajaran pemerintahan (eksekutif) dan DPR/DPRD (legislatif).
Upaya untuk mengungkap kasus korupsi ini masih belum sepenuhnya dilakukan. Terbukti masih banyak kasus-kasus lama –salah satunya kasus mantan presiden Soeharto yang tidak dapat dituntaskan sampai dengan meninggalnya– yang belum selesai ditambah lagi kasus-kasus baru yang belum tertangani.
Proses pergantian kepemimpinan sebanyak empat kali pasca reformasi 1998, mulai dari BJ. Habibie, Gus Dur, Megawati, dan SBY belum mampu mengatasi persoalan korupsi ini. Perilaku korupsi yang sulit diberantas ini mulai dari jajaran atas sampai dengan jajaran bawah di pemerintahan, baik secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi bagaikan ‘lingkaran setan’ yang tidak ada ujungnya.
Korupsi yang telah terjadi dan menumpuk-numpuk ini menempatkan Indonesia menjadi negara terkorup dengan urutan 130 dari 163 negara pada tahun 2006 4. Kondisi ini sungguh memprihatinkan karena korupsi yang terjadi menyebabkan kemiskinan dan pengangguran semakin bertambah. Cita-cita kemerdekaan untuk “menciptakan kesejahteraan masyarakat Indonesia yang adil dan merata”, hanya merupakan slogan kosong tanpa makna. Hal ini terjadi karena perilaku dari aparat pemerintahan sendiri. Maka dengan ini dibutuhkan kesadaran bersama antara pemerintah/aparat dan masyarakat untuk saling mengawasi, melaporkan dan menindak perilaku korup ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar